Home »
»
Written By muhammad idris on Rabu, 22 Desember 2010 | 07.02
Saya adalah seorang penggemar angkutan massal murah meriah yang bernama “kereta api kelas ekonomi”, saya lebih suka memakai kata “kereta api” untuk membedakanya dengan kereta listrik yang beroprasi di Jakarta yang juga berkelas ekonomi. Entah, sudah terkadung jatuh cinta pada angkutan massal yang satu ini atau karena murahnya harga tiketnya, membuat saya enggan berpaling ke angkutan lainya seperti bus untuk balik ke kampung. Mempunyai kampung halaman di daerah Brebes, terlebih setelah menetapkan
untuk merajut masa depan di Jakarta, membuat saya lebih sering bolak balik Jakarta-jawa(saya lebih suka menyebutnya jawa daripada Brebes).
“Tegal Arum”, begitulah sang kepala stasiun mengumandangkan nama ini ketika sang ular besi ini masuk ke stasiunya,
memberitahu penumpang yang “berkepentingan”. Dan begitulah secara berulang setiap masuk ke stasiun berikutnya. Penumpangnya sendiri lebih suka menyebutnya “sepur tegal arum” Entah sejak kapan kereta di Indonesia mempunyai nama-nama unik tersebut, setahu saya di luar negeri hanya memakai nomer seri lokomotif untuk membedakan jenis keretanya. Uniknya nama setiap kereta mempunyai arti ke
dekatan psikologis dengan daerah tujuan akhirnya, sebutsaja Gajayana(malang), Brantas(kediri), dan tak ketinggalan pula kereta idola saya “Tegal Arum”, dari nama tersebut anda tentu sudah bisa menebak stasiun mana tujuan kereta tersebut.Yang membuat saya lebih heran lagi dengan kereta api usang yang satu ini, adalah keriuhan di stasiun menjelang kedatangan sang kereta. Ini terjadi hampir di setiap setasiun yang disinggahinya, terutama sebelum stasiun Cikampaek Karawang. Dan saat yang dinanti pun tiba, begitu nama sang indah sang kereta “Tegal Arum”`ini dikumandangkan kepala stasiun, maka bak Bonek yang geram menyaksikan tim kesayanganya, seisi stasiun pun bergemuruh begitu sang kereta dengan pongah menjejakan roda besinya di rel stasiun, baik penumpang di peron yang sudah siap-siap pasang kuda-kuda guna menerobos di gerbong kereta, yang hampir bisa dipastikan penuh sesak. Plus tukang becak, tukang ojek, yang dengan b
eringas memburu calon penumpangnya, dikatakan beringas karna sering lari-lari sambil berteriak tiada henti mencarai calon penumpangnya, sebelum kereta berhenti, tak jarang memaksa “membantu” membawakan tas penumpang yang keluar. Ini belum termasuk keriuhan lain yang tak kalah hebohnya, yang tak lain adalah pedagang asongan yang tak kalah aroganya untuk bisa memaksa masuk ke gerbong meskipun tanpa membayar tiket, Perum Kereta Api, sebagai empunya memang tak melarang pedagang asongan masuk ke kereta api ekonomi tanpa karcis, perlakuan yang berbeda dengan saudarannya, kereta api kelas bisnis maupun eksekutif.
Jangan pernah mengharapkan pelayanan jika menaiki kereta ini atau kereta api ekonomi jarak jauh lainya, kebetulan mendapatkan tempat duduk saja itu sebuah karunia yang amat besar, bahkan jika mendekati musim mudik lebaran, jangankan berdiri, bisa masuk ke gerbong dengan posisi apapun sudah termasuk sangat beruntung, tentu dengan usaha exstra berjungkir balik didorong oleh penumpang lainya. Gerbong tak menyisakan sedikitpun ruang kosong, kolong kursi, sambungan gerbong, toilet yang joroknya minta ampun, bahkan di tempat rak tempat biasa menaruh tas yang terletak di atas tempat
duduk pun sesak dengan anak-anak balita yang memang sengaja di sangkutin oleh tuanya. Tak jarang keributan diantara penumpang atau dengan pedagang.
Masih banyak sisi laindari nafas kereta api ekonomi, Menaiki kereta api ekonomi tak sekadar perkara mencapai tujuan yang dituju. Kereta api adalah gambaran keadaan sosial masyarakat marginal, semuanya tergambar jelas terpangpang, nampak jelas sekali beban hidup yang teramat berat dan keras dari para pedagang dan tak terkecuali penumpangnya. Kereta api secara alamiah menjadi penanda identitas sosial antara si kaya dan si miskin, ogah bagi orang berpunya membeli tiket kelas ekonomi. Menjadi sebuah ruang publi
k yang efektif, di kereta api ekonomi muncul tawa-tawa riang penumpangnya yang senasib, bercengkrama dengan logat jawa panturanya yang khas, saya sendiri sering cekikikan melihat tingkah polah mereka. Suatu yang tak mungkin di dapat jika menaiki kereta api bisnis eksekutif dengan segala kenyamananya, dengan penumpangnya yang lebih sering tertidur oleh empuknya kursi dan sejuknya penyejuk udara.
Disebuah negara maju, ruang publik adalah sarana sang pemimpin mendengar keluh duka rakyatnya, juga mempertemukan si kaya dan si miskin, dan kereta api adalah salah satunya, tak ada pembeda kereta ekonomi, bisnis, maupun eksekutif, Semua warga negara mendapat membayar tiket yang sama. Sebuah hal yang paling kurindukan saat ini adalah jika para pemimpin negeri ini mau menyempatkan mudik lebaranya di kereta api ekonomi, mungkin tak ada lagi permasalahan sosial di negeri ini, sebuah harapan yang mustahil.
0 komentar:
Speak up your mind
Tell us what you're thinking... !