Playboy Revolusi
Written By muhammad idris on Sabtu, 10 Maret 2012 | 06.10
“Tuhan menciptakan wanita penuh dengan keindahan”, demikian sepenggal ucapan sang pemimpin revolusi yang sangat mengagumi wanita, juga sebagai keindahan seni.
Tiga puluh dua tahun orde baru (orba) berkuasa. Selama itu pula kharisma sang proklamator dilunturkan, kampanye orba mengaitkanya dengan Partai Komunis Indonesia (PKI) tak membuat namanya terkubur zaman. Entah sudah berapa banyak manipulasi sejarah orba, sukarno justru menjadi ikon revolusi nasional. Presiden boleh berganti, namun orang-orang masih memasang foto-fotonya, gambarnya tak pernah diturunkan, meski kertas sudah menguning dan kaca figura sudah buram.
Orang-orang mengaguminya. Pidatonya yang menyihir, ketegasanya, kata-katanya yang selalu diingat, dan nasibnya yang “ditakdirkan” jadi pembaca naskah proklamator. Itu semua sisi baiknya, sisi terang yang diketahui banyak manusia yang lahir setelah kematianya, kemudian menjadi pengagum barunya.
Buku berjudul “Sukarno, Paradoks Revolusi Indonesia” menjadi titik terang kehidupan terang juga gelapnya. Tim penulis Tempo boleh berkilah buku terbitanya ini harfiahnya memang membedah dua sisi Sukarno, namun seolah justru mencoba “mempopulerkan” sisi gelap pada kehidupan Sukarno yang kontroversial, ini bisa dimaklumi, sisi baik pemimpin revolusi ini tentunya sudah banyak diketahui, namun siapa yang tahu sisi paradoks dalam diri Sukarno. Itulah yang dikemas dalam buku setebal 124 halaman ini.
Kusno, begitu nama lahir Sukarno, ialah sang penakluk wanita sejati. Siapa yang menyangka, semenjak mengenyam pendidikan sekolah menengah (HBS) Surabaya, Sukarno sudah mahir “menjerat perempuan”. Mien Hassel adalah salah satu gadis Belanda, teman sekolah Sukarno, yang sempat membuat Sukarno remaja tergila-gila. “Hanya inilah satu-satunya jalan yang kuketahui untuk memeperoleh keunggulan terhadap bangsa kulit putih”, kilahnya kepada Cindy Adams, penulis buku otobiografi “Soekarno, Penyambung Lidah Masyarakat”.
Kehidupan pribadinya, yang terkesan glamor, tak banyak diketahui orang. Perkawinanya pun tak surut dari teka-teki, ia menikah dengan sembilan wanita sekaligus. Dari Inggit Ganarsih, janda yang 15 tahun lebih tua darinya, hingga kisah jalinan asmara layaknya kakek dan cucu dengan anak gadis SMA, Yurike Sanger. Bahkan saat menikahi istri terakhirnya, Heldy Jafar, dua mempelai ini terpaut usia 48 tahun. Dari semua perkawinyanya, kecuali, Outari, istri pertamanya, dan Hartini, hampir semua perkawinanya berakhir pahit untuk wanita yang dinikahinya.
Ia seorang yang keras kepala dan dibalik suara pidatonya yang bariton, ia juga seorang yang rapuh dan kadang tak berpendirian. Tanpa Inggit Ganarsih, istri yang setia menjenguknya saat dirinya di penjaran pemerintah kolonial, Sukarno hanyalah harimau yang kehilangan taringnya. Episode perjalanan politiknya berliku, ia memlilih jalan yang bersebrangan dengan kawan-kawan politiknya, di antara dua orientasi politik terkuat saat itu, islam dan marxisme, ia justru lebih tertarik dengan paham yang dinamainya sendiri sebagai marhaenisme.
Putra sang fajar ini juga dianggap kooperatif dengan penjajah, sangat berlawanan dengan rekan politiknya, seperti Sutan Syahrir atau Tan Malaka yang memilih tiarap dengan perlawanan di bawah tanah. Namun pilihan politiknya menyeretnya pada keterasingan, ia bahkan dianggap sebagai penyebab terbunuhnya banyak romusha saat pendudukan Jepang, pidatonya di depan para pemuda untuk membantu jepang dengan bergabung menjadi romusha, justru mengantar para romusha berlayar ke gerbang pembantaian.
Pembawaanya yang menganggap dirinya sebagai Bima, dalam wayang mahabarata, yang mengantarkanya pada tabiat yang baru, menempatkanya sebagai raja. Ia membubarkan konstituate hasil pemilihan umum 1955, dan mengangkat dirinya sebagai presiden seumur hidup.
Inilah dua sisi Sukarno. Si lembut dan si keras kepala, seorang pemberontak yang mudah takluk. Sukarno milik Indonesia, Indonesia milik Sukarno, begitulah cara ia membawa Indonesia, meski sebagai paradoks, ia bawa Indonesia sebagai bangsa yang bermartabat, buku ini wajib dibaca mahasiswa, aktivis emansipasi perempuan, dan penikmat sejarah.
0 komentar:
Speak up your mind
Tell us what you're thinking... !