Saya tak bisa mengimani Allah, jika saya belum melihatnya sendiri
dengn mata. Pernyataan tersebut kerap dilontarkan seseorang yang
memandang alam, termasuk penciptanya, sebagai materi, sebuah hubungan
filosofi kebendaan yang erat kaitanya dengan paham Atheisme.
Dunia, tujuan hidup, konsep materi di sini, adalah semua yang ada di
alam semesta, bahkan mungkin tuhan sendiri, adalah bentuk lain dari
materi yang tercipta secara alamiah, dengan proses jutaan hingga
milyaran tahun dalam tahapan evolusi. Mereka berpandangan, semua hal
yang muncul di alam semesta adalah berkat proses sebab akibat dari satu
sebab, ke sebab lainya.
Kemampuan indera manusia sangatlah terbatas, maka bagaimana bisa
manusia berpikir untuk melihat tuhan. Mengimani tuhan dengan melihat
dengan mata adalah pemikiran yang bodoh dan sesat. Seperti koloni jutaan
bakteri yang menghuni gigi kita, yang meski berusaha melubangi gigi
kita setiap harinya, kita tidak akan bisa melihat dan mendengar
kegaduhan aktivitas mereka.
Begitupun bakteri, mereka tidak bisa melihat dan merasakan keberadaan
kita. Gigi kita adalah habitat bakteri yang teramat luas bagi mereka,
dalam dimensi ruang bakteri, gigi kita sama luasnya dengan bumi yang
kita diami. Andaikata bakteri memiliki kemampuan indera penglihatan
sekalipun, untuk melihat manusia, ia harus berada pada jarak pandang
yang cukup dan penglihatan dengan frekuensi yang sangat besar.
Begitupan yang terjadi pada manusia, milyaran manusia yang menghuni
bumi yang mungkin ukuranya hanya seukuran atom dari milyaran bintang dan
galaksi yang ada. Andai umat manusia bisa menciptakan teleskop super
dengan ukuran yang belum pernah dibuat manusia sebelumnya, dengan
jangkauan mencapai 10 juta miliar tahun cahaya, itu masih belum bisa
mencakup batas alam semesta. Jika kita bisa melihat tempat pada jarak
sejuta tahun cahaya sekalipun, tetap informasi kita tentang alam semesta
hanya berupa setetes air dari lautan rahasia alam.
Semua yang ada adalah alam, Allah adalah selain darinya. Maka
mustahil manusia dengan kemampuan mata yang hanya mempunyai kemampuan
frekuensi 40x per detik ini mampu melihat keberadaan Allah. Kemampuan
indera penglihatan manusia sepuluh kali di bawah penglihatan seekor
burung predator, begitupun kemampuan mendengar juga sangat terbatas, 100
kali lebih buruk bila dibandingkan kemampuan telinga seekor kelalawar.
Dengan analogi bakteri dan astronomi di atas, manusia adalah makhluk
yang tak bisa mencakup alam, baik mikrokosmos maupun makrokosmos. Ayat
Alquran menjelaskan “Tujuh lapis langit singgasana Allah tak ubahnya 1 keping Dirham yang dilempar ke tengah gurun”. Jalaludin Rumi dalam baitnya, “Semua mata tidak dapat menjangkaunya, sedang ia menjangkau semua mata”.
Allah jelas tak bisa dilihat dengan kemampuan sangat terbatas indera
manusia, bahkan untuk sekedar melihat tirainya sekalipun. Hukum sains
yang berlaku, untuk melihat segala sesuatu, harus mempunyai lawanya.
Kita bisa melihat cahaya cahaya karna ada lawanya berupa kegelapan. Kita
bisa menyimpulkan panjang benda, karena ada pendek, mengukur seseorang
cerdas karena ada manusia bodoh. Semua yang di alam semesta mempunyai
pembanding. Sedang Allah tiada bandingnya.
Gothe, filusuf jerman menguraikan keberadaan tuhan dengan ungkapan syair
Aku adalah harta kekayaan
Yang tak tertampung oleh bumi
Dan tidak pula oleh langit
Tetapi, kalbu dapat menampungku
Digubah dari Buku “Islam, Rahmatan Lil Alamin” Karya Ulama kharismatik Turki, Fetullah Gullen.
Rawamangun, 28 Juni 2014
Mantap bro...
BalasHapus