Home »
» Benarkah Pemerintah Kita Suka Bohong
Benarkah Pemerintah Kita Suka Bohong
Written By muhammad idris on Senin, 14 Februari 2011 | 19.57
Hampir tiap hari, entah sudah kesekianpuluh berapa, sebuah Koran nasional yang punya jargon “amanat hati nurani rakyat” mewartakan berita yang hampir sama persis di halaman depan pada setiap rublik ekonominya. Entah karna memang sangat sedikit tema yang diangkat di kolom ekonomi, ataukah memang wartawan media massa tersebut malas mencari berita yang menarik ikhwal ekonomiMemang benar, harus diakui hampir tak ada berita ekonomi yang tak se booming berita seputar terorisme, markus, konflik antar golongan, korupsi, atau bencana alam yang kesemuanya dimuat dan hampir pasti berestafet pada halaman dibelakangnya.
Meski mencoba usaha dengan membaca rublik ekonomi di awal pun sia-sia. Bahkan meski sambil menyeruput kopi pagi, ah percuma saja hingga akhirnya tak tahan juga kubuka rublik olahraga untuk meng update skor bentrok sepakbola tadi malam juga tentang kehebohan transfer pemain bola. Entah saya saja yang suka menghiraukan sekilas membaca rublik ekonomi, meski saya sendiri berlatar belakang pendidikan ekonomi, subjektif saya, mungkin sebagian pembaca media massa pun mengalami hal tersebut, bahkan seorang yang mengaku pengamat ekonomi sekalipun, entahlah.
Namun, bukan rublik tentang ekonomi yang mau saya ungkapkan. Kebosanan tentu ada sebabnya, bukan pula kolom berita yang melulu tentang tentang inflasi, kredit, stimulus, entah apalah namanya, segala tetek bengek hitungan matematis ekonomi. Meski itu sedikit berpengaruh, Keengganan yang paling besar itu, sebabnya adalah setiap membaca berita ekonomi hampir pasti (subjektif saya) banyak kebohongan pemerintah di dalamnya, tentunya dengan membanggakan hitung-hitung statistik badan pemerintah, yang notabene berarti dijamin good versi pemerintah.
Kadangkala tak jarang diperkuat orang yang mengaku sebagai ekonom. Tersebutlah judul-judul berita “Pertumbuhan Ekonomi Meningkat”, “Hutang Luar Negeri Turun”, “Inflasi Terkendali”, “Bulog Ringankan Petani”, “kredit Usaha Mikro Terserap”, “Kemiskinan Turun 10 %”, “Lapangan Kerja Baru Tercipta 2 juta”, dan bla bla bla kata-kata manis lainya di rublik ekonomi yang hanya berpijak pada data matematis, tanpa melihat fakta lapangan.
Satu dari sekian banyak berita ekonomi yang saya anggap kebohongan, yakni omong besar pemerintah tentang pertumbuhan ekonomi. Pemerintah selalu mengklaim keberhasilan ekonomi, yakni pertumbuhan ekonomi yang selalu di atas 6 % lebih, tak jarang mencapai 7 % lebih, atau nilai rata-rata tertinggi di Asia tenggara, bahkan tak jauh dari Cina, superior baru ekonomi dunia. Sampai World Bank menamakan Indonesia sebagai negara dengan pertumbuhan ekonomi ajaib.
Padahal jika diamati lebih seksama, pertumbuhan ekonomi Indonesia yang ajaib ini lebih disebabkan karena melonjaknya pengeluaran konsumsi, baik pemerintah maupun konsumsi masyrakat Indonesia yang terlampau sangat berlebihan. Apalagi tingginya tingkat konsumsi Indonesia ternyata sangat timpang, lebih dari 67 % penikmat konsumsi itu adalah orang lapisan menengah atas, yang notebene hanya kurang dari 30 % penduduk Indonesia yang mayoritas dalam derita kemiskinan. Bahkan 40 orang super kaya Indonesia menguasai 10 % PDB yang berjumlah 6.254 trilliun rupiah, angka yang sungguh luar binasa. Ibarat kata, jajan anakya Abu Rizal Bakri setara dengan 100.000x jajanya kalangan menengah bawah.
Tak susah bagi kaum muda anak golongan elite tiap mengadakan pesta happy birthday di hotel atau restoran mewah, membeli mobil terbaru, memodifikasi kendaraan yang pengeluaranya ratusan juta hanya untuk kepuasan, mengoleksi benda-benda super mahal, memburu keluaran apple terbaru seharga puluhan juta, bisa berbangga kuliah di luar negeri, otak tidak encer itu nomor sekian, menonton konser justin dengan harga tiket jutaan rupiah, berakhir pekan di Disneyland Singapore, dan sederet kehidupan surgawi lainya. Tidak percaya? tengok data terbaru dari PPATK. Bagaimana tidak disebut super konsumtif, jika satu anak pejabat tinggi negara atau pengusaha yang baru duduk di kelas SMA pejabat tinggi punya rekening jumbo sejumlah ratusan miliar.
Gaya hidup yang dipertontonkan di ataslah yang menyebabkan kenapa pertumbuhan konsumsi konsumsi Indonesia tinggi. Pertumbuhan ekonomi tinggi, namun hanya dinikmati lapisan masyarakat superkaya, jadi bohonglah jika pemerintah mengatakan, kesejahteraan rakyat meningkat, dan kemiskinan berkurang hanya berpijak pada tingginya konsumsi yang ternyata hanya dinikmati kaum super kaya.
Memang tidak ada negara di dunia yang memiliki pendapatan yang rata. Bahkan negara sekelas Swiss atau Finland sekalipun yang dikatakan sebagai pertumbuhan ekonomi dengan pendapatan perkapita paling baik di dunia, namun setidaknya pencapaian keberhasilan pertumbuhan ekonomi yang bertumpu pada konsumsi setidaknya tidak setimpang Indonesia, yang kentara antara jurang si kaya dan si miskin (tapi masih di bawah India). seperti dikatakan Muhammad Saw, menjadi kaya tidak dilarang, namun di antara kekayaan harta orang kaya, sebagian adalah hak orang-orang duafa.
Bicara pertumbuhan ekonomi, tak akan lepas dari yang namanya pertumbuhan lapangan pekerjaan. Dengan pongahnya, pemerintah, seperti dikutip laporan bertia dari Antara News, Rusman Heriawan, mengatakan kepala BPS mengatakan pertumbuhan ekonomi 2010 sebesar 6,1 persen menciptakan 548 ribu lapangan kerja untuk setiap 1 persen pertumbuhan. Kenyataanya lapangan pekerjaan beru yang tercipta kurang dari setengah dari target 548 ribu.
Ini disebabkan karena modal masuk yang dihitung dalam PDB adalah industry padat modal dengan lebih mengutamakan mesin dan teknologi modern, seperti jasa informasi dan komunikasi, dan industri padat modal lainya yang sedikit sekali menyerap tenaga kerja, lebih parahnya lagi modal yang masuk PDB, hanyalah modal instrument investasi surat berharga belaka, bukan pada investasi sektor riil yang jelas tidak memberikan manfaat apa-apa terhadap penambahan lapangan kerja.
Dan masih banyak lagi pernyataan pemerintah perihal ekonomi yang tidak sesuai fakta lapangan. Meski berbagai fakta lapangan tentang antithesis yang terakumulasi di balik tempurung kepala saya tentang ekonomi versi pemerintah, tak sanggup rasanya jari-jari saya untuk mengetiknya satu per satu kebohongan pemerintah yang bagai air lautan.
Hanya bertumpu pada hitungan matematis daripada fakta bertolak belakang mendekati 180 derajat di lapangan, seperti kasus hutang luar pemerintah, inflasi sembako, dan sebagainya, sehingga ada benarnya juga jika oleh para tokoh agama, pemerintah disebutnya melakukan “Kebohongan Publik”. Tulisan saya memang terlalu subjektif, namun subjektif berdasar fakta lapangan yang saya amati sendiri, juga data-data falid yang tidak asal saya pungut. Hanya tuhan yang maha tahu.
0 komentar:
Speak up your mind
Tell us what you're thinking... !