Memanusiakan Wisuda
Written By muhammad idris on Minggu, 25 September 2011 | 00.27
Matahari mulai condong ke barat, menciptakan bayangan panjang tiap orang yang tegak di bagian barat Gedung Serba Guna (GSG) Universitas Negeri Jakarta (UNJ). Teriknya yang menyengat membuat dua biji ubun mendidih. Bonita duduk di bagian paling belakang, mengenakan setelan kebaya dengan rambut disanggul ini tak hentinya mengibas lembar undangan ke wajahnya yang berlumur keringat, balutan bedaknya mulai luntur menyisakan retakan kecil di wajahnya. Bau keringat dan sampah sisa makananan yang berserak kian membuatnya tak nyaman, “Setau aku wisuda gak di sini deh mas”, keluh pengantar salah seorang wisudawan dari fakultas tekhnik ini. Ia membandingkan dengan wisuda di kampusnya, “Di tempat kuliah saya gak separah ini”, ujar mahasiswi universitas swasta di Jakarta ini.
Terik ternyata tak melunturkan antusias para wali mahasiswa ini menyaksikan moment berharga ini. Tenda yang dipasang panitia wisuda UNJ tak cukup tak cukup membantu, pun dengan kipas angin tornado di tegak di setiap sudut, ribuan pasang mata terseret pada layar yang disediakan di luar gedung begitu sang rektor membacakan pidato resminya. Namun bukan pidato yang diburu mata para orang tua wisudawan ini, melainkan menatap layar berharap jika kebetulan anaknya tersorot kamera.
Di dalam ruangan tak beda jauh, atap GSG yang terbuat dari seng membuat seng membuat suhu dalam raungan terasa panas, meski AC dipasang di banyak tempat. GSG seolah tak menyisakan tempat sedikitpun, semua berjejalan, tamu VIP pun jauh dari layak disebut sebagai VIP sebagaimana mestinya. para wisudawan yang seharusnya mendapat tempat yang hormat justru jauh dari kata layak, bisa dibayangkan penderitaan didera kepanasan karena baju yang di balut toga. Bagaimana pula kursi hampir tiga ribu orang dipaksakan agar memenuhi bagian tengah yang memang sudah sangat sempit.
Lebih mengenaskan, atap GSG yang penuh lubang di sana-sini yang ditutup terpal tenda yang seolah dipasang kejar waktu. Meski terpal berhias warna namun lebih dominan putih karna biasan matahari dari celah seng. “Sangat memalukan”, sitir seorang petugas keamanan yang berjaga. Hal yang tak memanusiakan para orang tua wisudawan adalah ketika para orang tua yang sebagian besar telah uzur ini dipaksa duduk di luar tanpa melihat putra putrinya duduk di kursi terhormat. Kelamaan mereka tak sabar juga berdiam di kursi dalam kegerahan otak bercampur suhu panas. Mereka yang ogah lantas mendekat ke gerbang untuk melihat lebih dekat.
Apa yang terjadi, dengan sigap beberapa petugas satpam menutup gerbang sembari berteriak keras “Mundur! mundur !”. memperlakukan para sepuh ini layaknya demonstran yang mulai anarkis. para sepuh ini hanya bisa memegangi terali pagar besi dari luar GSG dengan tatapan nanar. Sungguh mengenaskan, wisuda dengan bayaran dua kali lipat wisuda di Universitas Indonesia, sangat jauh dari kata layak, juga jauh dari rasa kemanusiaan. Paradoks dengan sesumbar MC yang dari awal acara dengan bangga menyebut satu per satu prestasi UNJ dengan suara lantang yang hanya seperti pepesan kosong.
0 komentar:
Speak up your mind
Tell us what you're thinking... !