Menggapai Mimpi di Kaki Menara
Written By muhammad idris on Rabu, 21 September 2011 | 15.52
Judul Buku : Negeri 5 Menara
Pengarang : A. Fuadi
Penerbit : PT. Gramedia Pustaka Utama
Tebal : 422 Halaman
Novel karya A. Fuadi dengan tebal 422 halaman ini mengandung sebuah cerita lika-liku kehidupan pesantren yang sangat menarik. Berkisah tentang mimpi lima remaja dari daerah yang berbeda mengajar impianya, cerita diangkat dari perjalanan hidup sang penulis di sebuah pondok pesantren modern terbesar di Jawa Timur. Novel ini mampu membuat pembacanya terhanyut dalam kehidupan pesantren yang penuh teka-teki bagi masyarakat awam, cerita inspiratif dengan selipan humor khas pondok.
Tokoh utama sekaligus pencerita dalam cerita ini adalah Alif Fikri, seorang anak laki-laki yang merantau dari tanah minang yang tangguh, cerdas, berani, dan pekerja keras demi mengejar impianya. Said, seorang remaja keturunan Arab dari Surabaya berbadan kekar yang hanya menyukai olahraga. Baso, anak pelaut dari Sulawesi yang mempunyai kecerdasan hafalan di atas rata-rata, Atang yang dari Bandung yang ahli seni, Raja dari Medan dengan keahlian bermacam bahasa, terakhir adalah Dulmajid, anak petani garam dari Madura dengan kemampuan otak serba pas-pasan namun paling setia kawan. Lima sekawan yang kemudian disebut sebagai lima menara ini seolah mewakili otak kanan dan otak kiri manusia. Mereka saling melengkapi kekurangan masing-masing untuk mengejar impian selangit itu.
Kisah novel ini diawali dari pertentangan batin Alif bermimpi melanjutkan SMA unggulan di Bukittinggi, ini demi mengejar impianya menjadi Habibie yang sangat diiolakanya, sejalan dengan cita-citanya menjadi Insinyur. Namun impian itu harus kandas manakala Emak, sang Ibu memaksanya melanjutkan sekolah di jalur agama, ia merasa cukup bekal ilmu agama yang timbanya semasa di tsanawiyah atau sekolah agama setingkat SMP. Ia tak mungkin memberontak, menolak keinginan Emak, sama saja dengan durhaka.
Sesuai anjuran surat pamanya yang bersekolah di Al-azar Mesir, dengan berat hati pilihanya melanjutkan sekolah jatuh pada keputusan yang sangat reaksioner, merantau nun jauh ke pedalaman Jawa Timur, tujuanya sebuah pondok pesantren yang sebelumnya tak pernah dibayangkanya. Ia sempat ragu dengan keputusanya manakala Pa Sutan, teman seperjalanan menuju Pulau Jawa, mengatakan bahwa pesantren adalah lembaga pendidikan khusus remaja badung, pemabuk, dan pecandu obat. Keputusanya sudah bulat.
Namun semua keraguanya sirna saat dirinya menjejak kaki di pesantren tersebut. Pesantren tak seburuk apa yang dikatakan Pa Sutan di bus, bahkan di luar dugaan, tak henti-hentinya hatinya berdecak kagum kala diajak berkeliling melihat pesantren. Selanjutnya, pembaca akan dibawa pada kehidupan tokoh utama yang berusaha menyesuaikna diri pada kehidupan di asrama pesantren yang penuh aturan ketat.
Sial, hari pertamanya ia justru kepergok melanggar hukuman, dan harus menerima hukuman berat dan memalukan hanya karena terlambat lima menit ke masjid. Namun hukuman tersebutlah yang kemudian mempertemukan ikatan batin kelimanya, manjadi karib yang bahu membahu, kemudian saling bercerita dan merajut impian di bawah menara masjid pesantren, mereka sebut diri mereka sebagai sahabat lima menara.
Cerita selanjutnya lebih banyak menceritakan lima sekawan tersebut mengejar impianya. Penulis yang juga wartawan Tempo ini, dengan gaya bahasanya membawa pembaca seolah-olah benar-benar ikut larut dalam kehidupan di pondok, membuat pembacanya penasaran dan ingin cepat selasai membacanya. Meski beberapa bagian, beberapa terselip istilah Bahasa Arab dan Minang yang sulit dimengerti. Tak lupa, novel ini juga dibumbui dengan kisah asmara, sebuah usaha keras Alif yang akhirnya bisa menembus sekat laki-laki dan wanita demi mengenal Sarah, putri sang Ustad yang jadi buah bibir di seantero asrama santri putra.
Yang membuat pembacanya tak bosan, penulis menyelipkan humor khas pondok. seperti saat kelimanya dengan tingkah polahnya saat melewati asrama putri. Novel ini juga mampu membuat pembacanya termotivasi, banyak kata-kata inspiratif yang acap akali terucap dari dialog para ustad dan kyai di pesantren, seperti sepotong kata asing bak mantera ajaib bagi siapapun, yakni, man jadda wajadda, yang berarti siapa yang bersungguh-sungguh, akan berhasil. Novel ini patut dibaca bagi yang yang sudah bosan dengan novel-novel bernafas agamis yang terlalu menitik beratkan pada kisah percintaan.
0 komentar:
Speak up your mind
Tell us what you're thinking... !